Home » , , » Mengecilkan Pemberantasan Korupsi

Mengecilkan Pemberantasan Korupsi

Posted by Kabar Berita on Minggu, 02 Maret 2014

RUU KUHP

KETENTUAN tindak pidana korupsi sebagai ”kejahatan luar biasa” sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sayangnya, beberapa ketentuan korupsi juga diakomodasi atau diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu dalam Bab XXXII tentang Tindak Pidana Korupsi, dari Pasal 688 sampai Pasal 702. Itu berarti ada 15 pasal korupsi dari 766 pasal dalam RUU KUHP.


Dengan diakomodasinya ketentuan korupsi dalam RUU KUHP, apakah UU No 20/2001 masih memiliki sifat khusus (lex specialis)? Atau, sebaliknya, dengan diakomodasinya ketentuan korupsi dalam RUU KUHP, UU No 20/2001 sebenarnya tidak memiliki ”kekhususan” lagi dan hanya ”menunggu waktu” untuk ”dipreteli”, dicabut, atau dihapus. Apalagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—sebagai institusi terdepan pemberantasan korupsi—bukan lembaga permanen dalam sistem peradilan pidana, melainkan hanya lembaga ad hoc.

Dalam ketentuan peralihan RUU KUHP, yaitu Pasal 757, diatur bahwa pada saat UU ini mulai berlaku, terhadap undang-undang di luar UU ini diberikan masa transisi paling lama tiga tahun untuk dilakukan penyesuaian dengan UU ini (huruf a). Selain itu, diatur juga bahwa setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf a berakhir, maka ketentuan pidana di luar UU ini dengan sendirinya bagian dari UU ini (huruf b).

Dengan ketentuan seperti itu, jika RUU KUHP disahkan menjadi UU, maka UU No 20/2001 termasuk kemungkinan UU No 30/2002 tentang KPK harus disesuaikan atau direvisi. Sesuai Pasal 757 huruf (b), UU No 20/2001 pun akan menjadi bagian dari KUHP. Itu juga dapat diartikan bahwa KUHP menjadi ”payung hukum” ketentuan tindak pidana korupsi.

Meskipun demikian, ketentuan peralihan RUU KUHAP juga menjamin bahwa UU No 20/2001 tetap berlaku. Dalam Pasal 761 RUU KUHP disebutkan, pada saat UU ini mulai berlaku, semua ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang di luar UU ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang materinya tidak diatur dalam UU ini.

Kejahatan luar biasa

Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Oce Madril dalam sebuah diskusi menilai, masuknya ketentuan korupsi dalam RUU KUHP menunjukkan korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa, tetapi dianggap sebagai tindak pidana umum. ”Mengapa harus ada 15 pasal di KUHP dan tidak dikeluarkan,” katanya.

Padahal, sejak 1970-an, sudah disadari bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa sehingga perlu diatur dengan undang-undang khusus. Oleh karena itu, MPR juga mengeluarkan ketetapan terkait pemberantasan korupsi pada 1999. Dalam era Reformasi, dibentuk produk undang-undang khusus, yaitu pemberantasan korupsi dan UU KPK. ”Sekarang, ketentuan korupsi dimasukkan lagi ke dalam RUU KUHP dan diatur dengan cara yang biasa,” katanya.

Jika ketentuan korupsi dimasukkan dalam KUHP, hal itu memang dapat mengundang banyak pertanyaan. Mengapa? Dimasukkannya ketentuan korupsi dalam KUHP dapat saja menjadi pembenaran untuk memangkas atau menghapus UU No 20/2001 dan UU No 30/2002 dengan alasan ketentuan korupsi sudah diakomodasi dalam KUHP nanti. Apalagi, KPK merupakan lembaga ad hoc atau bersifat sementara. Itu artinya, suatu waktu, cepat atau lambat, KPK bisa dibubarkan.

Bisa dicabut

Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menilai masuknya norma korupsi dalam RUU KUHP memang penting. Dengan demikian, ketentuan terkait korupsi, seperti penyuapan, tetap ada dalam KUHP sebagai payung hukum. Ia mengingatkan, bagaimana pun UU tentang KPK, termasuk UU Pemberantasan Korupsi, dapat dicabut suatu waktu. ”Lebih mudah mencabut UU daripada (mencabut) KUHP,” katanya.

Apakah upaya memasukkan ketentuan korupsi dalam KUHP sebagai ”payung hukum” merupakan satu langkah untuk mengecilkan peran KPK dan upaya pemberantasan korupsi secara bertahap?

Atau, ketentuan korupsi dalam KUHP memang dimaksudkan untuk membuat kodifikasi sistem hukum nasional yang lebih terintegrasi, tanpa upaya memangkas atau menghapus kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi dengan merevisi UU No 30/2002 dan UU No 20/2001.

Pertanyaan itu tentu tidak mudah dijawab, terlebih menyaksikan peran KPK selama ini. Bayangkan saja, hampir semua kelompok masyarakat, terutama sampai tingkat elite, tak lepas dari bidikan KPK. Anggota DPR, menteri, pejabat birokrasi, pengusaha sudah banyak yang diadili dan dikerangkeng oleh KPK.


0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Recent